Rabu, 11 Juni 2008

Gawe baulakng (BAG II)

Oleh. Paulus F Samuel

Gawe Baulakng, dibeberapa tempat menyebutnya dengan nama yang berbeda, ada yang menyebutnya Gawe Suman Poe', ada pula yang menyebutnya dengan nama Gawe Madel, namun pada inti tujuannya tetap sama.

Dalam pelaksanaan gawe Baulakng, anggaran yang digunakan tidaklah sedikit, bisa mencapai belasan juta rupiah, hanya untuk peraga adat saja
Tujuan Gawe baulakng itu sendiri secara spesifik sebagai suatu kegiatan membayar hutang jasa dalam bentuk adat, mulai kepada Sang Pencifta, yang menciftakan orang tersebut sehingga ada didunia ini, kepada ahli waris dari kedua belah pihak orang tuanya (pihak waris ayah & ibu), bidan yang membantu proses kelahirannya, tukang sunat jika dia laki-laki, tuha tahutn yang berperan sebagai pendamping dalam usaha bertani, Timanggong, tukang asuh dan untuk ahli waris masih terdapat yang namanya kepala waris. dari kesemua yang disebutkan, masing-masing mendapat bagian tersendiri dalam pembagian adatnya, meski dilihat dari jumlah, tidaklah seberapa yang mereka terima, namun maknanya secara adat sangat tinggi, bahkan bagian-bagian tersebut dalam penerimaannya tidak boleh dikirimkan, kalaupun diwakilkan penerimaannya, wakil tersebut merupakan keturunan dari nama-nama yang dipanggil sesuai dengan fungsi-fungsinya.
Dalam hal malakukan pembagian, sipembagi adat harus menguasai garis keturunan orang berpesta minimal lima tingkat diatas kakeknya, artinya orang tersebut harus pandai bertutur silsilah keluarga yang berpesta.Demikian juga dengan membaginya, yang didahulukan adalah, ahli waris yang dianggab masih paling dekat hubungan darahnya.
Hitungannya adalah, sepupu sekali dan sepupu dua kali, belum bisa dianggab waris, golongannya masih dalam tataran keluarga.
Dalam aturan melaksanakan Gawe baulakng, meskipun orang tersebut memiliki berlimpah harta, dan untuk melaksanakan Gawe bukan persoalan, dianya tidak segampang itu.
Boleh melakukan Gawe baulakng apabila kedua orang tuanya sudah melaksanakan pesta nikah, jika belum, sementara orang tersebut nekad untuk melaksanakannya, maka yang dilakukan terlebih dahulu, melaksanakan pesta kedua orang tuanya, walaupun kedua orang tuanya sudah meninggal, dan pelaksanaannya sehari sebelum hari jadi Gawe Baulakng yang bersangkutan, alasannya bisa terkena tulah, dianggab melangkahi orang tuanya.

Read More..

Senin, 09 Juni 2008

GAWE BAULAKNG

Oleh. Paulus F. Samuel

Jadi orang Dayak memang "ribet", dalam hidup berumah tangga saja, kalau mau mengikuti originalitas sebagai orang Dayak, mesti melewati bermacam-macam proses, tapi itulah uniknya orang Dayak.
"Gawe Baulakng", adalah sebuah pesta puncak, dalam sebuah perkawinan. Jaman dulu, gawe baulakng menjadi sebuah tolok ukur bagi orang Dayak (khususnya Kanayatn), untuk menjadi Timanggong, Imam, Picara dan lainnya yang berhubungan dengan kepemimpinan, haruslah sudah melaksanakan Gawe Baulakng.
Dengan telah melaksanakan Gawe Baulakng, berarti orang tersebut dianggab layak, meski masih banyak prasyarat, selain sudah melaksanakan Gawe Baulakng, untuk menjadi pemimpin bagi orang Dayak.
Minimal orang tersebut, sudah tidak memiliki banyak beban "hutang", hutang kepada ahli waris, kepada Jubata, kepada arwah-arwah moyangnya dan lain-lain, yang dipandang dari sisi adat.

Read More..

Minggu, 08 Juni 2008

SISTEM RELIGI ORANG DAYAK

Oleh. Paulus FS
Didalam kehidupan social, dan kesehariannya tidak mungkin mencampur adukkan penerapan antara agama baru dan sistem religi (kepercayaan lama), yang merupakan salah satu bagian dari adat istiadat serta budaya adat leluhur, meski dipaksakan dengan cara dan sekeras apapun tetap tidak akan pernah selaras.
Letak persoalannya adalah, karena keduanya sama-sama kepercayaan yang didasari oleh keyakinan, dengan pemahaman yang berbeda, jika dipaksakan untuk digabungkan, sudah barang tentu akan terjadi benturan-benturan pemahaman, yang satu dipaksakan untuk memahami yang lainnya.
Yang benar adalah, masing-masing kepercayaan tidak saling mengintervensi, dan membiarkan masing-masing kepercayaan berproses secara alami.
Agama baru menjalankan proses sesuai dengan keyakinan kepercayaannya, demikian pula dengan budaya adat (agama lama) tanpa harus membanding-bandingkan kebenaran yang dimiliki, serta memaksakan kepercayaan lain untuk memahami kepercayaan yang dianut olehnya. Yang mungkin bisa dilakukan diantara masing-masing kepercayaan, agar tidak menimbulkan berbagai bentuk benturan adalah dengan mengetengahkan kata “toleransi”.
Andaipun suatu masa segala sistem religi lama tersebut, akan hilang dengan pergulatan ruang dan waktu, tidak ada lagi yang melaksanakannya, biarkanlah proses seleksi alam yang terjadi, bukan perubahan yang dilakukan secara radikal, revolusi dan sebagainya yang bersifat memaksa untuk meninggalkannya.
Didalam menjalankan kepercayaan dan keyakinan, tidak bisa melakukan pengkooftasian antara satu sama lainnya, dia mesti berjalan sesuai dengan pemahaman masing-masing sesuai dengan kepercayaan yang diyakini oleh kelompok penganutnya itu sendiri.

TATARAN PEMAHAMAN

KEPERCAYAAN LELUHUR
Jauh sebelum agama ada, leluhur orang Dayak memang sudah memiliki tata cara/religi yang mengatur hubungannya dengan maha penciftanya.
Tidak benar jika para leluhur orang Dayak jaman dulu di katakan “Animisme”, terbukti bahwa ketaatan dan kepercayaan leluhur orang Dayak sangat kuat dalam memelihara hubungan dengan Sang Pencifta yang disebut “Jubata”.
Disetiap kehidupan para leluhur orang Dayak jaman dulu, tidak pernah melepaskan diri dari campur tangan “Jubatanya” lewat berbagai bentuk ritual yang biasa mereka lakukan, memohon pertolongan “Jubata” saat membutuhkan sesuatu, mengucapkan syukur dan terima kasih kepada “Jubata” jika apa yang diminta dapat diperoleh tanpa melihat besar ataupun kecil sesuatu yang diterima.
Dengan melihat pola pada setiap pelaksanaan ritual dalam sistem religi yang dilakukan oleh leluhur orang Dayak, jelas bahwa moyang orang Dayak telah lebih dulu mengenal apa yang disebut dunia sekarang sebagai “Agama”.
Agama mengatur sistem moral dan norma-norma hidup para penganutnya yang memedomankan kearifan dan ke-Esa-an Maha Pencifta sesuai dengan ajaran masing-masing agama tersebut, demikian pula dengan sistem religi yang dilaksanakan oleh leluhur orang Dayak, yang membedakannya secara tajam antara setiap kepercayaan adalah, hari-hari besar, alat komunikasi (bahasa, alat peraga dll), perbedaan lainnya dari yang disebut dunia sebagai “agama” sekarang dengan sistem religi leluhur orang Dayak, yang disebut sebagai “Agama” sekarang, organisasional dan struktural sifatnya, sedangkan sistem religi leluhur orang Dayak tidak memiliki “organisasi struktural”, yang ada didalamnya momentum prosesi, pelaksana prosesi dan penyelenggara prosesi.
Meski dalam penerapan kesehariannya, sistem religi para leluhur orang Dayak tidak memiliki “organisasi”, tidak semudah itu untuk mengatakan leluhur orang Dayak sebagai “animisme”, seperti yang disebutkan diatas, bahwa leluhur orang Dayak memiliki sistem religi yang mengatur hubungan dengan maha penciftanya yang disebut “Jubata”, dalam bentuk ritual-ritual. Hanya saja tidak tersistematis dalam bentuk kalender tetap seperti agama-agama yang diakui oleh manusia didunia, leluhur orang Dayak melakukan ritual pada setiap moment-moment dalam keseharian hidup komunitasnya, contoh :
1. Ritual yang menyangkut hidup manusia, mulai dari dalam kandungan hingga meninggalnya
2. Ritual yang berhubungan dengan pekerjaan, berladang dan sebagainya, mulai dari mencari tempat dimana yang akan dijadikan lahan pekerjaan hingga melakukan syukuran terhadap hasil yang diperoleh.
3. Ritual perlindungan, pembentengan terhadap komunitas akan ancaman-ancaman (musuh, penyakit sampar dll), ritual dilakukan dari awal hingga keadaan sudah dinyatakan bebas dari ancaman tersebut, ritual seperti ini bisa dalam bentuk berpantang dan lain-lain sesuai dengan keadaan yang dirasakan atau berdasarkan tanda-tanda alam yang didapatkan.
4. Serta banyak lagi momentum-momentum ritual lainnya.
Ketetapan hari-hari besar boleh dikatakan tidak ada, semua didasarkan atas kesepakatan-kesepakatan didalam komunitas-komunitas itu sendiri.
Yang menunjukan bahwa ritual yang dilakukan oleh leluhur orang Dayak lebih menhormati penciftanya “Jubata”, ini ditandai pada salah satu perilaku “persembahan”, makanan yang akan digunakan sebagai persembahan, jika belum didoakan (Matik=doa singkat), belum boleh dimakan, demikian pula dengan menentukan tempat pekerjaan/ladang, setelah melakukan ritual untuk meminta restu “Jubata” dan tanda-tanda alam memperingatkan tidak boleh, maka kebiasaan leluhur orang Dayak akan mencoba meminta ditempat lain dengan cara yang sama.
Yang mau dipahami dari sistem religi yang dilakukan oleh leluhur orang Dayak adalah, bahwa sesungguhnya mereka telah lebih dulu memiliki cara-cara arif memelihara hubungan dengan pencifta alam semesta isinya, artinya, mereka bukan “animisme”, jelas bahwa letak persoalannya ada pada tataran pengakuan pemerintah, dan perlu dicatat bahwa Tuhan tidak membutuhkan pengakuan, yang dibutuhkan Tuhan adalah kepercayaan, dan penyebaran kepercayaan dalam bentuk organisasi-organisasi “Agama” yang diakui pemerintah, sesungguhnya merupakan sebuah upaya untuk melakukan modernisasi kepercayaan dan revolusi budaya.

MUNGKINKAH DILAKUKAN INCULTURASI
Didalam agama-agama baru itu sendiri sesungguhnya sudah dilakukan inculturasi, seperti di Kristen contohnya, inculturasi yang terjadi antara ajaran yang disebut perjanjian baru (sesudah Yesus lahir) dengan kepercayaan leluhur bangsa Yahudi (sebelum Yesus lahir).
Ajaran-ajaran agama, biasanya akan didominasi oleh budaya-budaya dimana agama tersebut berasal, itulah inculturasi yang pertama dilakukan.
Dewasa ini, ada upaya dari kalangan agama mencoba melakukan semacam inculturasi, bahkan sudah masuk pada tataran proses ritual, seperti tatacara “Nyangahatn” digereja dalam upacara tertentu. Apapun sesungguhnya akan baik sepanjang tidak ada yang mempertentangkannya, namun akan lain apabila kedua sisi yang akan dilakukan penyatuan (inculturasi), dan masing-masing sisi saling bertahan untuk menunjukan eksistensinya.
Kepercayaan leluhur orang Dayak dan agama-agama yang ada seperti sekarang ini, mempunyai tujuan yang sama, namun menggunakan cara dan alat komunikasi (bahasa dan alat peraga) yang berbeda-beda.
Artinya, inculturasi secara utuh tidak mungkin bisa dilaksanakan, karena ada hal-hal tertentu yang dimiliki oleh salah satu kepercayaan yang tidak akan bisa dimengerti oleh kepercayaan lain, seperti halnya “ngobet”, dalam ritual adat Dayak, ada bagian-bagiannya, yang akan sangat sulit dipahami adalah “kobet kamoh”, sementara dalam prosesi ritual adat orang Dayak, seluruh alat peraga yang biasa diadakan haruslah secara lengkap. Pertanyaannya adalah, bisakah kepercayaan lain (agama baru) menerima secara utuh seluruh alat peraga yang digunakan pada ritual adat orang Dayak untuk digunakan dalam gereja atau lainnya ?. Jawabannya tidak sesimple menjawab “ya dan tidak” letak permasalahannya ada pada tataran pemahaman, tentu kepercayaan diluar kepercayaan leluhur orang Dayak akan memahaminya lain, sedangkan bagi orang Dayak, setiap bagiannya mengandung arti penting, dan jika salah satu dihilangkan, mungkin bisa fatal akibatnya atau sederhananya, apa yang dilakukan akan sia-sia.

Yang sering terdengar dari ucapan kelompok kepercayaan lain diluar kepercayaan leluhur orang Dayak, ketika menyaksikan prosesi ritual adat orang Dayak, ada yang mengatakan menyembah berhala, memberi makan setan, menyembah pohon, menyembah batu, menyembah gunung dan lainnya.
Sebagai orang Dayak, secara pribady saya tidak bisa menepis ungkapan yang demikian, karena saya sendiri tidak bisa memaksakan orang lain untuk mengerti kepercayaan dan keyakinan yang saya miliki, rancanganmu bukanlah rancanganku, karena kebenaran dalam suatu kepercayaan tidak dipahami dengan sesuatu yang berbentuk, kebenaran itu relatif sifatnya, dianya terletak pada keyakinan masing-masing penganutnya. Setiap pengikut penganut kepercayaan mempunyai hak masing-masing untuk mengatakan ajaran kepercayaannya benar, tetapi tidak berhak untuk menghakimi bahwa kepercayaan lain salah.

PEMAHAMAN KOBET
Sebelum jauh masuk dalam kepercayaan adat leluhur orang Dayak secara luas, mungkin baik terlebih dahulu diuraikan tentang makna “kobet”, karena ini salah satu bagian yang selalu mengandung resistensi tinggi bagi yang tidak mengerti makna sesungguhnya.
“Kobet” atau juga sering disebut “ongko’” dalam proses ritual adat leluhur orang Dayak, merupakan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan, lain tujuan ritualnya, berbeda pula jumlah dan jenis “kobet” disediakan.
Pemberian “kobet”, sama artinya melakukan pembentengan, sebelum masuk jauh pada proses ritual, sehingga ketika ritual berjalan segala sesuatu (arwah-arwah gentayangan, setan, iblis dll) yang sudah diberi “kobet” tidak lagi mengganggu proses ritual tersebut, meski dalam proses ritual tersebut untuk mengusir roh-roh jahat, mereka tidak diusir dalam bentuk yang radikal, pengusiran dalam bentuk hormat, atau mereka yang sudah diberi “kobet” diminta bantuannya untuk melakukan komunikasi dengan sesamanya untuk tidak mengganggu.
Para leluhur orang Dayak, memahami bahwa seluruh yang ada dimuka bumi ini baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan adalah bagian dari ciftaan tuhan (Jubata), saling menghormati dan mengasihi sesama ciftaanNya, menjadi suatu kewajiban tanpa terkecuali. Memberikan “kobet”, sama dengan menyapa mereka yang tidak dapat dilihat, dan harus ada sesuatu yang dipersembahkan.
Analoghynya, para pedagang kaki lima saja bisa marah jika dilakukan penggusuran, meski mereka sesungguhnya sadar bahwa mereka membuka tempat usaha atau tinggal bukan pada hak miliknya, dan bahkan mereka mungkin sadar, kegiatannya mengganggu orang lain. Namun ketika digusur, tidak jarang mereka bertindak anarkhis, tapi, beda soal jika sebelum penggusuran, komunikasi terlebih dahulu dibangun, mungkin ada yang dengan suka rela melakukan pembongkaran sendiri tanpa harus main paksa, dan kepada mereka diberikan sedikit bekal untuk sekedar menghargai.
Nah, demikianlah sesungguhnya pemahaman para leluhur orang Dayak ketika memberikan “kobet” dalam melakukan proses ritual, sehingga roh-roh yang biasanya mengganggu tidak lagi mengganggu. Mentang-mentang merasa benar lalu mau bertindak semaunya terhadap orang yang salah, itu namanya egosentris, leluhur orang Dayak memberikan cerminan lewat proses ritual adat kepada seluruh keturunannya untuk tidak egosentrisme, pada hakikatnya, cinta kasih ditujukan tidak sebatas pada orang-orang yang mengasihi kita, orang-orang terdekat kita, tapi juga bagaimana mengasihi musuh sekalipun, dan hal seperti ini dipahami sebagai keseimbangan hidup.

Kembali pada kepercayaan leluhur orang Dayak secara umum, seperti telah dipaparkan diatas, bahwa jauh sebelum agama-agama baru masuk dan berkembang dikalangan orang Dayak, para leluhur orang Dayak sudah mempunyai kepercayaan yang mengatur keseimbangan hubungan, baik dengan Sang Pencifta serta alam ciftaan beserta isinya.
Didalam agama-agama baru, juga mengajarkan hal yang demikian, sekali lagi, hanya cara dan alat komunikasi yang digunakan yang berbeda. Lain bahasa tentu lain nama dalam penyebutannya, ada yang menyebut Dewa, Allah, Tuhan, Jubata dan lain sebagainya.
Agama baru lebih dipengaruhi oleh budaya dimana mereka berasal, itu sudah pasti dan tidak dapat disangkal lagi.
Sesujujurnya, Tuhan tidak mempunyai agama, Tuhan menciftakan alam beserta isinya, dan yang dibutuhkan oleh Tuhan kepada umat manusia adalah keyakinan dan kepercayaan, mentaati perintahnya dan menjauhi larangannya, bahwa Dialah (Tuhan) sumber segala-galanya, terserah dengan apapun cara yang kita pakai sebagai umatNya. Agama hanyalah sebuah organisasi dan cara, sedangkan yang mendekatkan setiap umat manusia dengan Maha Penciftanya adalah iman dan keyakinannya.
Akan lain lagi situasinya, jika Yesus, Muhammad, Sang Budha dan lainnya, lahir di Kalimantan, mungkin semua yang disebut oleh dunia sebagai agama sekarang, saya berkeyakinan, segala perilaku budaya Kalimantan (khususnya budaya Dayak) akan lebih dominan didalamnya.

TEMPAT RITUAL LELUHUR ORANG DAYAK
Tata cara dan tempat dimana para leluhur orang Dayak melakukan ritual, sangat kontekstual sifatnya, hal ini sebenarnya lebih terkait dengan kondisi jaman, seperti melakukan ritual di gunung, pohon-pohon besar, batu-batu besar dan lain-lain, yang dipahami sebagai ciftaan “Jubata” yang indah, yang besar, yang tinggi, yang kuat dan sebagainya.
Ada pepatah mengatakan “jika kita berteduh dibawah sebatang pohon yang rindang dan disitu kita menemukan kesejukan, maka ingatlah kepada orang yang menanam pohon tersebut”.
Didalam ajaran agama baru sekarang, selalu juga mengatakan bahwa “Tuhan ada dimana-mana”, pemahaman-pemahaman seperti inilah sesungguhnya yang menjadi dasar bagi para leluhur orang Dayak untuk memilih tempat-tempat yang dianggab terindah dan terbaik untuk melakukan penyembahan kepada “Jubatanya”.
Pohon-pohon besar dijadikan sebagai simbol kesuburan, batu-batu besar dijadikan sebagai simbol kekuatan, sedangkan gunung-gunung yang tinggi dijadikan sebagai simbol kemegahan, kebesaran dan keagungan “Jubata”. Jika ada yang mengatakan leluhur orang Dayak sebagai penyembah pohon, batu, gunung dan lainnya, itu semata-mata karena ketidak pahaman orang tersebut.
Alasan lain, terkait dengan jaman, dijaman kehidupan para leluhur orang Dayak, jangankan mau mendirikan gedung-gedung megah seperti Masjid, Gereja, Klenteng dan sebagainya, untuk mendirikan rumah tempat mereka tinggal saja sangat penuh dengan kesederhanaan, pakaian dari kulit kayu, lain soal kalau saat itu leluhur orang Dayak sudah mengenal tekhnolgi modern seperti sekarang ini.

AGAMA ADALAH ORGANISASI POLITIK DOGMATIK
Dalam kehidupan masyarakat dunia, orang-orang akan malu untuk mengakui bahwa dirinya tidak beragama, terlebih di Indonesia. Pada kartu pengenal, saya kira tak ada satupun yang tidak menampilkan agama. Secara politik, agama dibuat sebagai alat pengakuan Negara terhadap seseorang.
Saya sangat yakin bahwa seluruh yang ada dimuka bumi ini tanpa terkecuali adalah ciftaan Tuhan yang sama, dan saya berkeyakinan pula bahwa diakhirat sana tidak ada kaplingan tempat yang dipersiapkan untuk agama A, B, C dan sebagainya.
Agama hanya semasa kita hidup dan sebagai alat untuk mempersiapkan tempat apabila kita mati, jika yang mati agamanya Khatolik dengan mudah orang melakukan proses pemakaman dan menempatkannya dipemakaman Kahtolik, yang Muslim di pemakaman Muslim dan seterusnya. Mungkinkah setelah kita mati, Tuhan akan mengelompokan oran-orang sesuai dengan agama yang dianut semasa kita hidup, seperti umpamanya kata Tuhan, hei... kamu orang Khatolik, disini, kamu disebelah kanan saya, hei yang Muslim, kamu didepan saya, yang Bhuda, kamu disebelah kiri saya dan bla bla bla bla......
Agama kan pada dasarnya merupakan sebuah wadah ekspresi kepercayaan dan keyakinan yang sifatnya dogmatis, sedangkan kepercayaan dan keyakinan itu sendiri sifatnya sangat sangat pribadi, yang tahu bahwa saya benar-benar yakin dan percaya adalah diri saya sendiri, dan cara yang saya pakai untuk mengekspresikannya keluar dari diri saya serta bersama satu kelompok, itu yang disebut dengan agama, aliran kepercayaan dan lain-lain.

Read More..