Rabu, 11 Juni 2008

Gawe baulakng (BAG II)

Oleh. Paulus F Samuel

Gawe Baulakng, dibeberapa tempat menyebutnya dengan nama yang berbeda, ada yang menyebutnya Gawe Suman Poe', ada pula yang menyebutnya dengan nama Gawe Madel, namun pada inti tujuannya tetap sama.

Dalam pelaksanaan gawe Baulakng, anggaran yang digunakan tidaklah sedikit, bisa mencapai belasan juta rupiah, hanya untuk peraga adat saja
Tujuan Gawe baulakng itu sendiri secara spesifik sebagai suatu kegiatan membayar hutang jasa dalam bentuk adat, mulai kepada Sang Pencifta, yang menciftakan orang tersebut sehingga ada didunia ini, kepada ahli waris dari kedua belah pihak orang tuanya (pihak waris ayah & ibu), bidan yang membantu proses kelahirannya, tukang sunat jika dia laki-laki, tuha tahutn yang berperan sebagai pendamping dalam usaha bertani, Timanggong, tukang asuh dan untuk ahli waris masih terdapat yang namanya kepala waris. dari kesemua yang disebutkan, masing-masing mendapat bagian tersendiri dalam pembagian adatnya, meski dilihat dari jumlah, tidaklah seberapa yang mereka terima, namun maknanya secara adat sangat tinggi, bahkan bagian-bagian tersebut dalam penerimaannya tidak boleh dikirimkan, kalaupun diwakilkan penerimaannya, wakil tersebut merupakan keturunan dari nama-nama yang dipanggil sesuai dengan fungsi-fungsinya.
Dalam hal malakukan pembagian, sipembagi adat harus menguasai garis keturunan orang berpesta minimal lima tingkat diatas kakeknya, artinya orang tersebut harus pandai bertutur silsilah keluarga yang berpesta.Demikian juga dengan membaginya, yang didahulukan adalah, ahli waris yang dianggab masih paling dekat hubungan darahnya.
Hitungannya adalah, sepupu sekali dan sepupu dua kali, belum bisa dianggab waris, golongannya masih dalam tataran keluarga.
Dalam aturan melaksanakan Gawe baulakng, meskipun orang tersebut memiliki berlimpah harta, dan untuk melaksanakan Gawe bukan persoalan, dianya tidak segampang itu.
Boleh melakukan Gawe baulakng apabila kedua orang tuanya sudah melaksanakan pesta nikah, jika belum, sementara orang tersebut nekad untuk melaksanakannya, maka yang dilakukan terlebih dahulu, melaksanakan pesta kedua orang tuanya, walaupun kedua orang tuanya sudah meninggal, dan pelaksanaannya sehari sebelum hari jadi Gawe Baulakng yang bersangkutan, alasannya bisa terkena tulah, dianggab melangkahi orang tuanya.

Read More..

Senin, 09 Juni 2008

GAWE BAULAKNG

Oleh. Paulus F. Samuel

Jadi orang Dayak memang "ribet", dalam hidup berumah tangga saja, kalau mau mengikuti originalitas sebagai orang Dayak, mesti melewati bermacam-macam proses, tapi itulah uniknya orang Dayak.
"Gawe Baulakng", adalah sebuah pesta puncak, dalam sebuah perkawinan. Jaman dulu, gawe baulakng menjadi sebuah tolok ukur bagi orang Dayak (khususnya Kanayatn), untuk menjadi Timanggong, Imam, Picara dan lainnya yang berhubungan dengan kepemimpinan, haruslah sudah melaksanakan Gawe Baulakng.
Dengan telah melaksanakan Gawe Baulakng, berarti orang tersebut dianggab layak, meski masih banyak prasyarat, selain sudah melaksanakan Gawe Baulakng, untuk menjadi pemimpin bagi orang Dayak.
Minimal orang tersebut, sudah tidak memiliki banyak beban "hutang", hutang kepada ahli waris, kepada Jubata, kepada arwah-arwah moyangnya dan lain-lain, yang dipandang dari sisi adat.

Read More..

Minggu, 08 Juni 2008

SISTEM RELIGI ORANG DAYAK

Oleh. Paulus FS
Didalam kehidupan social, dan kesehariannya tidak mungkin mencampur adukkan penerapan antara agama baru dan sistem religi (kepercayaan lama), yang merupakan salah satu bagian dari adat istiadat serta budaya adat leluhur, meski dipaksakan dengan cara dan sekeras apapun tetap tidak akan pernah selaras.
Letak persoalannya adalah, karena keduanya sama-sama kepercayaan yang didasari oleh keyakinan, dengan pemahaman yang berbeda, jika dipaksakan untuk digabungkan, sudah barang tentu akan terjadi benturan-benturan pemahaman, yang satu dipaksakan untuk memahami yang lainnya.
Yang benar adalah, masing-masing kepercayaan tidak saling mengintervensi, dan membiarkan masing-masing kepercayaan berproses secara alami.
Agama baru menjalankan proses sesuai dengan keyakinan kepercayaannya, demikian pula dengan budaya adat (agama lama) tanpa harus membanding-bandingkan kebenaran yang dimiliki, serta memaksakan kepercayaan lain untuk memahami kepercayaan yang dianut olehnya. Yang mungkin bisa dilakukan diantara masing-masing kepercayaan, agar tidak menimbulkan berbagai bentuk benturan adalah dengan mengetengahkan kata “toleransi”.
Andaipun suatu masa segala sistem religi lama tersebut, akan hilang dengan pergulatan ruang dan waktu, tidak ada lagi yang melaksanakannya, biarkanlah proses seleksi alam yang terjadi, bukan perubahan yang dilakukan secara radikal, revolusi dan sebagainya yang bersifat memaksa untuk meninggalkannya.
Didalam menjalankan kepercayaan dan keyakinan, tidak bisa melakukan pengkooftasian antara satu sama lainnya, dia mesti berjalan sesuai dengan pemahaman masing-masing sesuai dengan kepercayaan yang diyakini oleh kelompok penganutnya itu sendiri.

TATARAN PEMAHAMAN

KEPERCAYAAN LELUHUR
Jauh sebelum agama ada, leluhur orang Dayak memang sudah memiliki tata cara/religi yang mengatur hubungannya dengan maha penciftanya.
Tidak benar jika para leluhur orang Dayak jaman dulu di katakan “Animisme”, terbukti bahwa ketaatan dan kepercayaan leluhur orang Dayak sangat kuat dalam memelihara hubungan dengan Sang Pencifta yang disebut “Jubata”.
Disetiap kehidupan para leluhur orang Dayak jaman dulu, tidak pernah melepaskan diri dari campur tangan “Jubatanya” lewat berbagai bentuk ritual yang biasa mereka lakukan, memohon pertolongan “Jubata” saat membutuhkan sesuatu, mengucapkan syukur dan terima kasih kepada “Jubata” jika apa yang diminta dapat diperoleh tanpa melihat besar ataupun kecil sesuatu yang diterima.
Dengan melihat pola pada setiap pelaksanaan ritual dalam sistem religi yang dilakukan oleh leluhur orang Dayak, jelas bahwa moyang orang Dayak telah lebih dulu mengenal apa yang disebut dunia sekarang sebagai “Agama”.
Agama mengatur sistem moral dan norma-norma hidup para penganutnya yang memedomankan kearifan dan ke-Esa-an Maha Pencifta sesuai dengan ajaran masing-masing agama tersebut, demikian pula dengan sistem religi yang dilaksanakan oleh leluhur orang Dayak, yang membedakannya secara tajam antara setiap kepercayaan adalah, hari-hari besar, alat komunikasi (bahasa, alat peraga dll), perbedaan lainnya dari yang disebut dunia sebagai “agama” sekarang dengan sistem religi leluhur orang Dayak, yang disebut sebagai “Agama” sekarang, organisasional dan struktural sifatnya, sedangkan sistem religi leluhur orang Dayak tidak memiliki “organisasi struktural”, yang ada didalamnya momentum prosesi, pelaksana prosesi dan penyelenggara prosesi.
Meski dalam penerapan kesehariannya, sistem religi para leluhur orang Dayak tidak memiliki “organisasi”, tidak semudah itu untuk mengatakan leluhur orang Dayak sebagai “animisme”, seperti yang disebutkan diatas, bahwa leluhur orang Dayak memiliki sistem religi yang mengatur hubungan dengan maha penciftanya yang disebut “Jubata”, dalam bentuk ritual-ritual. Hanya saja tidak tersistematis dalam bentuk kalender tetap seperti agama-agama yang diakui oleh manusia didunia, leluhur orang Dayak melakukan ritual pada setiap moment-moment dalam keseharian hidup komunitasnya, contoh :
1. Ritual yang menyangkut hidup manusia, mulai dari dalam kandungan hingga meninggalnya
2. Ritual yang berhubungan dengan pekerjaan, berladang dan sebagainya, mulai dari mencari tempat dimana yang akan dijadikan lahan pekerjaan hingga melakukan syukuran terhadap hasil yang diperoleh.
3. Ritual perlindungan, pembentengan terhadap komunitas akan ancaman-ancaman (musuh, penyakit sampar dll), ritual dilakukan dari awal hingga keadaan sudah dinyatakan bebas dari ancaman tersebut, ritual seperti ini bisa dalam bentuk berpantang dan lain-lain sesuai dengan keadaan yang dirasakan atau berdasarkan tanda-tanda alam yang didapatkan.
4. Serta banyak lagi momentum-momentum ritual lainnya.
Ketetapan hari-hari besar boleh dikatakan tidak ada, semua didasarkan atas kesepakatan-kesepakatan didalam komunitas-komunitas itu sendiri.
Yang menunjukan bahwa ritual yang dilakukan oleh leluhur orang Dayak lebih menhormati penciftanya “Jubata”, ini ditandai pada salah satu perilaku “persembahan”, makanan yang akan digunakan sebagai persembahan, jika belum didoakan (Matik=doa singkat), belum boleh dimakan, demikian pula dengan menentukan tempat pekerjaan/ladang, setelah melakukan ritual untuk meminta restu “Jubata” dan tanda-tanda alam memperingatkan tidak boleh, maka kebiasaan leluhur orang Dayak akan mencoba meminta ditempat lain dengan cara yang sama.
Yang mau dipahami dari sistem religi yang dilakukan oleh leluhur orang Dayak adalah, bahwa sesungguhnya mereka telah lebih dulu memiliki cara-cara arif memelihara hubungan dengan pencifta alam semesta isinya, artinya, mereka bukan “animisme”, jelas bahwa letak persoalannya ada pada tataran pengakuan pemerintah, dan perlu dicatat bahwa Tuhan tidak membutuhkan pengakuan, yang dibutuhkan Tuhan adalah kepercayaan, dan penyebaran kepercayaan dalam bentuk organisasi-organisasi “Agama” yang diakui pemerintah, sesungguhnya merupakan sebuah upaya untuk melakukan modernisasi kepercayaan dan revolusi budaya.

MUNGKINKAH DILAKUKAN INCULTURASI
Didalam agama-agama baru itu sendiri sesungguhnya sudah dilakukan inculturasi, seperti di Kristen contohnya, inculturasi yang terjadi antara ajaran yang disebut perjanjian baru (sesudah Yesus lahir) dengan kepercayaan leluhur bangsa Yahudi (sebelum Yesus lahir).
Ajaran-ajaran agama, biasanya akan didominasi oleh budaya-budaya dimana agama tersebut berasal, itulah inculturasi yang pertama dilakukan.
Dewasa ini, ada upaya dari kalangan agama mencoba melakukan semacam inculturasi, bahkan sudah masuk pada tataran proses ritual, seperti tatacara “Nyangahatn” digereja dalam upacara tertentu. Apapun sesungguhnya akan baik sepanjang tidak ada yang mempertentangkannya, namun akan lain apabila kedua sisi yang akan dilakukan penyatuan (inculturasi), dan masing-masing sisi saling bertahan untuk menunjukan eksistensinya.
Kepercayaan leluhur orang Dayak dan agama-agama yang ada seperti sekarang ini, mempunyai tujuan yang sama, namun menggunakan cara dan alat komunikasi (bahasa dan alat peraga) yang berbeda-beda.
Artinya, inculturasi secara utuh tidak mungkin bisa dilaksanakan, karena ada hal-hal tertentu yang dimiliki oleh salah satu kepercayaan yang tidak akan bisa dimengerti oleh kepercayaan lain, seperti halnya “ngobet”, dalam ritual adat Dayak, ada bagian-bagiannya, yang akan sangat sulit dipahami adalah “kobet kamoh”, sementara dalam prosesi ritual adat orang Dayak, seluruh alat peraga yang biasa diadakan haruslah secara lengkap. Pertanyaannya adalah, bisakah kepercayaan lain (agama baru) menerima secara utuh seluruh alat peraga yang digunakan pada ritual adat orang Dayak untuk digunakan dalam gereja atau lainnya ?. Jawabannya tidak sesimple menjawab “ya dan tidak” letak permasalahannya ada pada tataran pemahaman, tentu kepercayaan diluar kepercayaan leluhur orang Dayak akan memahaminya lain, sedangkan bagi orang Dayak, setiap bagiannya mengandung arti penting, dan jika salah satu dihilangkan, mungkin bisa fatal akibatnya atau sederhananya, apa yang dilakukan akan sia-sia.

Yang sering terdengar dari ucapan kelompok kepercayaan lain diluar kepercayaan leluhur orang Dayak, ketika menyaksikan prosesi ritual adat orang Dayak, ada yang mengatakan menyembah berhala, memberi makan setan, menyembah pohon, menyembah batu, menyembah gunung dan lainnya.
Sebagai orang Dayak, secara pribady saya tidak bisa menepis ungkapan yang demikian, karena saya sendiri tidak bisa memaksakan orang lain untuk mengerti kepercayaan dan keyakinan yang saya miliki, rancanganmu bukanlah rancanganku, karena kebenaran dalam suatu kepercayaan tidak dipahami dengan sesuatu yang berbentuk, kebenaran itu relatif sifatnya, dianya terletak pada keyakinan masing-masing penganutnya. Setiap pengikut penganut kepercayaan mempunyai hak masing-masing untuk mengatakan ajaran kepercayaannya benar, tetapi tidak berhak untuk menghakimi bahwa kepercayaan lain salah.

PEMAHAMAN KOBET
Sebelum jauh masuk dalam kepercayaan adat leluhur orang Dayak secara luas, mungkin baik terlebih dahulu diuraikan tentang makna “kobet”, karena ini salah satu bagian yang selalu mengandung resistensi tinggi bagi yang tidak mengerti makna sesungguhnya.
“Kobet” atau juga sering disebut “ongko’” dalam proses ritual adat leluhur orang Dayak, merupakan sesuatu yang tidak bisa dihilangkan, lain tujuan ritualnya, berbeda pula jumlah dan jenis “kobet” disediakan.
Pemberian “kobet”, sama artinya melakukan pembentengan, sebelum masuk jauh pada proses ritual, sehingga ketika ritual berjalan segala sesuatu (arwah-arwah gentayangan, setan, iblis dll) yang sudah diberi “kobet” tidak lagi mengganggu proses ritual tersebut, meski dalam proses ritual tersebut untuk mengusir roh-roh jahat, mereka tidak diusir dalam bentuk yang radikal, pengusiran dalam bentuk hormat, atau mereka yang sudah diberi “kobet” diminta bantuannya untuk melakukan komunikasi dengan sesamanya untuk tidak mengganggu.
Para leluhur orang Dayak, memahami bahwa seluruh yang ada dimuka bumi ini baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan adalah bagian dari ciftaan tuhan (Jubata), saling menghormati dan mengasihi sesama ciftaanNya, menjadi suatu kewajiban tanpa terkecuali. Memberikan “kobet”, sama dengan menyapa mereka yang tidak dapat dilihat, dan harus ada sesuatu yang dipersembahkan.
Analoghynya, para pedagang kaki lima saja bisa marah jika dilakukan penggusuran, meski mereka sesungguhnya sadar bahwa mereka membuka tempat usaha atau tinggal bukan pada hak miliknya, dan bahkan mereka mungkin sadar, kegiatannya mengganggu orang lain. Namun ketika digusur, tidak jarang mereka bertindak anarkhis, tapi, beda soal jika sebelum penggusuran, komunikasi terlebih dahulu dibangun, mungkin ada yang dengan suka rela melakukan pembongkaran sendiri tanpa harus main paksa, dan kepada mereka diberikan sedikit bekal untuk sekedar menghargai.
Nah, demikianlah sesungguhnya pemahaman para leluhur orang Dayak ketika memberikan “kobet” dalam melakukan proses ritual, sehingga roh-roh yang biasanya mengganggu tidak lagi mengganggu. Mentang-mentang merasa benar lalu mau bertindak semaunya terhadap orang yang salah, itu namanya egosentris, leluhur orang Dayak memberikan cerminan lewat proses ritual adat kepada seluruh keturunannya untuk tidak egosentrisme, pada hakikatnya, cinta kasih ditujukan tidak sebatas pada orang-orang yang mengasihi kita, orang-orang terdekat kita, tapi juga bagaimana mengasihi musuh sekalipun, dan hal seperti ini dipahami sebagai keseimbangan hidup.

Kembali pada kepercayaan leluhur orang Dayak secara umum, seperti telah dipaparkan diatas, bahwa jauh sebelum agama-agama baru masuk dan berkembang dikalangan orang Dayak, para leluhur orang Dayak sudah mempunyai kepercayaan yang mengatur keseimbangan hubungan, baik dengan Sang Pencifta serta alam ciftaan beserta isinya.
Didalam agama-agama baru, juga mengajarkan hal yang demikian, sekali lagi, hanya cara dan alat komunikasi yang digunakan yang berbeda. Lain bahasa tentu lain nama dalam penyebutannya, ada yang menyebut Dewa, Allah, Tuhan, Jubata dan lain sebagainya.
Agama baru lebih dipengaruhi oleh budaya dimana mereka berasal, itu sudah pasti dan tidak dapat disangkal lagi.
Sesujujurnya, Tuhan tidak mempunyai agama, Tuhan menciftakan alam beserta isinya, dan yang dibutuhkan oleh Tuhan kepada umat manusia adalah keyakinan dan kepercayaan, mentaati perintahnya dan menjauhi larangannya, bahwa Dialah (Tuhan) sumber segala-galanya, terserah dengan apapun cara yang kita pakai sebagai umatNya. Agama hanyalah sebuah organisasi dan cara, sedangkan yang mendekatkan setiap umat manusia dengan Maha Penciftanya adalah iman dan keyakinannya.
Akan lain lagi situasinya, jika Yesus, Muhammad, Sang Budha dan lainnya, lahir di Kalimantan, mungkin semua yang disebut oleh dunia sebagai agama sekarang, saya berkeyakinan, segala perilaku budaya Kalimantan (khususnya budaya Dayak) akan lebih dominan didalamnya.

TEMPAT RITUAL LELUHUR ORANG DAYAK
Tata cara dan tempat dimana para leluhur orang Dayak melakukan ritual, sangat kontekstual sifatnya, hal ini sebenarnya lebih terkait dengan kondisi jaman, seperti melakukan ritual di gunung, pohon-pohon besar, batu-batu besar dan lain-lain, yang dipahami sebagai ciftaan “Jubata” yang indah, yang besar, yang tinggi, yang kuat dan sebagainya.
Ada pepatah mengatakan “jika kita berteduh dibawah sebatang pohon yang rindang dan disitu kita menemukan kesejukan, maka ingatlah kepada orang yang menanam pohon tersebut”.
Didalam ajaran agama baru sekarang, selalu juga mengatakan bahwa “Tuhan ada dimana-mana”, pemahaman-pemahaman seperti inilah sesungguhnya yang menjadi dasar bagi para leluhur orang Dayak untuk memilih tempat-tempat yang dianggab terindah dan terbaik untuk melakukan penyembahan kepada “Jubatanya”.
Pohon-pohon besar dijadikan sebagai simbol kesuburan, batu-batu besar dijadikan sebagai simbol kekuatan, sedangkan gunung-gunung yang tinggi dijadikan sebagai simbol kemegahan, kebesaran dan keagungan “Jubata”. Jika ada yang mengatakan leluhur orang Dayak sebagai penyembah pohon, batu, gunung dan lainnya, itu semata-mata karena ketidak pahaman orang tersebut.
Alasan lain, terkait dengan jaman, dijaman kehidupan para leluhur orang Dayak, jangankan mau mendirikan gedung-gedung megah seperti Masjid, Gereja, Klenteng dan sebagainya, untuk mendirikan rumah tempat mereka tinggal saja sangat penuh dengan kesederhanaan, pakaian dari kulit kayu, lain soal kalau saat itu leluhur orang Dayak sudah mengenal tekhnolgi modern seperti sekarang ini.

AGAMA ADALAH ORGANISASI POLITIK DOGMATIK
Dalam kehidupan masyarakat dunia, orang-orang akan malu untuk mengakui bahwa dirinya tidak beragama, terlebih di Indonesia. Pada kartu pengenal, saya kira tak ada satupun yang tidak menampilkan agama. Secara politik, agama dibuat sebagai alat pengakuan Negara terhadap seseorang.
Saya sangat yakin bahwa seluruh yang ada dimuka bumi ini tanpa terkecuali adalah ciftaan Tuhan yang sama, dan saya berkeyakinan pula bahwa diakhirat sana tidak ada kaplingan tempat yang dipersiapkan untuk agama A, B, C dan sebagainya.
Agama hanya semasa kita hidup dan sebagai alat untuk mempersiapkan tempat apabila kita mati, jika yang mati agamanya Khatolik dengan mudah orang melakukan proses pemakaman dan menempatkannya dipemakaman Kahtolik, yang Muslim di pemakaman Muslim dan seterusnya. Mungkinkah setelah kita mati, Tuhan akan mengelompokan oran-orang sesuai dengan agama yang dianut semasa kita hidup, seperti umpamanya kata Tuhan, hei... kamu orang Khatolik, disini, kamu disebelah kanan saya, hei yang Muslim, kamu didepan saya, yang Bhuda, kamu disebelah kiri saya dan bla bla bla bla......
Agama kan pada dasarnya merupakan sebuah wadah ekspresi kepercayaan dan keyakinan yang sifatnya dogmatis, sedangkan kepercayaan dan keyakinan itu sendiri sifatnya sangat sangat pribadi, yang tahu bahwa saya benar-benar yakin dan percaya adalah diri saya sendiri, dan cara yang saya pakai untuk mengekspresikannya keluar dari diri saya serta bersama satu kelompok, itu yang disebut dengan agama, aliran kepercayaan dan lain-lain.

Read More..

Rabu, 14 Mei 2008

Dipersimpangan jalan

Oleh. Paulus FS
Senja memerah, bergayut diselimuti awan tipis, bagai lukisan di atas kanfas halus oleh tangan-tangan lembut sang seniman berbakat.
Claudia menyibak rambutnya yang terurai di terpa oleh hembusan angin pantai.
Claudia enggan beranjak dari tempat duduknya, tatapannya hampa, sesekali ia mendesah resah tanpa berucap sepatah kata.
Kerasnya gelombang tak sebanding dengan gejolak kegundahan hatinya, keriangan sirna seketika, di gantikan dengan kekalutan jiwa dan kelukaan yang kian perih.
Tujuh belas tahun, usia yang begitu belia, Claudia di hadapkan pada situasi yang begitu sulit, ia harus membuat keputusan, yach keputusan yang menurutnya sangat berat sekali.
Disisi satu Claudia ingin menjadi anak yang berbakti pada kedua orang tuanya, di sisi yang lain Claudia mau mengukir masa depannya dengan melanjutkan study di perguruan tinggi, cita-cita yang di rajutnya selama SMA akan di korbankan jika ia memilih keinginan kedua orang tuanya.
Ayah Claudia seorang pengusaha kayu olahan, selama kurang lebih 10 tahun beliau menggeluti usaha kecil (meubel). Keinginan untuk cepat sukses memang menjadi keinginan semua orang, tidak terkecuali ayahnya claudia. Mendapat tawaran dari seorang pengusaha sukses untuk menjadi partner bisnisnya, di tangkap sebagai peluang emas oleh ayah Claudia. Modal dengan jumlah milyaran rupiah dalam sekejap berada di tangan beliau, tiga bulan perusahaan berjalan, margin keuntungan yang di capai membuat ambisi ayah Claudia tinggi. Kembali beliau melakukan penanda tanganan peminjaman uang untuk membuat usaha semakin besar.
Genap satu tahun ayah Claudia menjalankan perusahaannya, margin keuntungan yang di bayangkan malah resiko besar yang menjadi kenyataan.
Ayah Claudia harus merelakan jutaan kubik kayu siap olah, berpindah ke tangan team gabungan penertiban kayu-kayu ilegal.
Dulunya tumpukan kayu-kayu tersebut tidak pernah sepi oleh para buruh pada siang hari dan para penjaga di malam hari, namun sekarang keadaan di sekitar berubah, areal tersebut di tunggu oleh pita kuning setia yang bertuliskan police line.
Apa mau di kata, ibarat pepatah “nasi sudah menjadi bubur”, maksud mencari untung malah buntung.
Situa bangka pemberi modal tak peduli setan apa mau buat, hutang tetaplah hutang, ketika tak mampu bayar, kata yang paling tepat di pilih adalah “sita”.
Segala aset yang dimiliki ayah Claudia di serahkan habis juga tak akan cukup menutupi jumlah hutang yang ada beserta riba yang telah di sepakati. Kebaikan hati ataukah kelicikan yang di tawarkan oleh si tua bangka, dengan pertimbangan mau tak mau. Hutang tak perlu di bayar asalkan Claudia anak semata wayang harus di serahkan sebagai gantinya.
Semenjak persoalan ini timbul, saat itulah Claudia selalu menghabiskan hari-harinya tanpa arah dan tujuan, jalan-jalan bukannya mencari kesenangan melainkan kebingungan.
Segala upaya di tempuh, agar kedua orang tuanya membatalkan niat untuk menikahkannya dengan si tua bangka tempat ayahnya menghutang, namun bagi orang tua Claudia itulah jalan yang terbaik agar terbebas dari jeratan hutang yang tak mungkin mampu ia lunasi.
Tak ada lagi tempat mengadu bagi Claudia, kepada kedua orang tua, itulah keputusannya, saudara tidak punya, pacar.....tentu cara yang di berikan tidak pernah objektif malah membuat Claudia semakin galau (ngajak nikah dengannya). Claudia menghindari pernikahan pilihan orang tuanya bukan karena tua bangka, namun karena claudia sendiri merasa belum siap untuk berumah tangga.
Di dalam kegamangannya Claudia tidak lagi dapat berpikir jernih, hidupnya bagaikan berjalan di tengah samudera yang penuh dengan gelombang dan badai. Hari penghakiman bagi dirinya seakan telah tiba, seutas tali diraihnya, mungkin ini jalan yang terbaik baginya saat itu. Namun belum sempat maut menjemput, Claudia di hantui bayangan, serta hiruk pikuk, senda gurau saat bersama teman-teman sekolahnya. Tersirat di benaknya bayangan seorang teman di mana mereka selalu saling berbagi keluh dan kesah. Teman karib yang hadir dalam bayangan Claudia tak lain adalah Cindy, teman sebangku waktu SMA. Seutas laso penghakiman menjadi penasaran, tergantung sendiri di atas dahan mangga belakang rumah. Sambil menangis Claudia bergegas meninggalkan tempat di mana ia akan mengakhiri hidupnya. Perjalanan sejauh 2 km tidak terasa, kaki melepuh, keringat mengucur, detak jantung tidak lagi beraturan membuat Claudia tidak dapat berucap, selain tangis histeris. Cindy jadi bingung, apa sesungguhnya yang sudah di alami teman, yang dulu pernah ia kenal sebagai gadis baik, penceria, dan cerdas.
Dalam ketenangannya Cindy memeluk tubuh claudia sambil merebahkannya di atas sofa ruang tamunya. Kemudian Cindy mengambil segelas air putih, claudia di suruhnya minum agar sedikit tenang. Setelah beberapa menit isak tangis mereda, Claudia menceriterakan masalah yang ia hadapi selama beberapa bulan ini, Cindy menarik napas panjang, ikut prihatin dengan apa yang di alami teman karibnya tersebut.
Cindy menyarankan agar Claudia menginap di rumahnya dalam beberapa hari, setelah bebnar-benar tenang baru mencari jalan keluar terbaik bagi Claudia.
Sementara keadaan di rumah Claudia menjadi kalut, kuatir terjadi hal-hal tidak diinginkan terhadap anaknya, sesungguhnya tidak ada seorangpun di dunia ini yang tidak menginginkan anaknya bahagia, namun sekali lagi bagi ayah Claudia tidak ada pilihan lain. Seperti biasa, setiap kali ingin berbagi keluh kesah Cindy dan Claudia selalu pergi ke pantai, karena jarak pantai dari tempat tinggal Cindy hanya kurang lebih 4 km. Setelah banyak hal yang mereka berdua saling utarakan, Cindy memberi sedikit saran kepada Claudia, bahwa hidup ini memang pilihan, dalam memilih mesti harus berhati-hati, artinya jangan sampai mengambil keputusan yang salah, di samping itu juga Cindy menyarankan Claudi mencari petunjuk lewat Doa. Cindy sungguh yakin apa yang di alami oleh Claudia adalah ujian dari Yang Maha Kuasa, dalam keyakinannya Tuhan tidak akan pernah memberi ujian di luar batas kemampuan umatNya. Cindy mengucapkan banyak terima kasih kepada sahabatnya, yang telah memberi tumpangan selama beberapa hari, memberi nasihat dan membantu Claudia pamit sama kedua orang tuanya karena Claudia sendiri tak ingin kepergiannya ke kota di halang-halangi oleh Bapaknya.
Dikota Claudia nginap di rumah, temannya Cindy, Claudia setiap hari di ajak jalan-jalan oleh Paula, sesekali di ajak main ke kantor ayahnya.
Berkat doa yang tulus Claudia Tuhan tidak membiarkannya begitu saja, saat itu telpon di meja sekretaris ayah Paula berdering, gagang telpon di angkat oleh Sekretaris ayah paula. Paula dan Claudia memperhatikan wajah sekretaris ayahnya yang gugup sekaligus bingung, karena saat itu orang yang bicara di telepon tidak pandai bahasa Indonesia. Lalu Claudia dan paula bertanya, kenapa mbak gugup ? ini ada telepon dari partner bisnis bapak di luar negri, saya ngak tahu bahasa inggris, jelas si sekretaris.
Lalu claudia menawarkan bantuannya, boleh saya bantu mbak ? tanya Claudia, oo dengan senang hati jawab sekretaris, memang sejak SMA kelas Dua, bahas inggris Claudia cukup fasih. Setelah selesai menerima telepon, Claudia menjelaskan isi pembicaraannya dengan partner bisnis ayahnya Paula, bahwa orang tersebut mengundang ayah paula untuk menandatangani kontrak kerja sebuah perusahaan multi nasional. Paula kagum melihat sesuatu yang baru saja ia saksikan. Diam-diam Paula menceriterakan kekagumannya terhadap Claudia pada ayahnya. Entah karna kebetulan atau memang ini jalan yang di tunjukan oleh Tuhan kepada Claudia, sehingga ayah paula mengangkat Claudia menjadi penterjemah di perusahaannya, dan setiap kali berurusan dengan partner bule nya ayah Paula pasti mengajak Claudia bahkan sampai kunjungan ke luar negeri.
Tahu akan persoalan yang di hadapi oleh Claudia, sebagai wujud rasa empatinya, ayah Paula bersedia melunasi semua hutang yang di tanggung oleh ayah Claudia, kemudian sambil membantu perusahaan ayah Paula, Claudia di suruh melanjutkan studynya ke perguruan tinggi oleh ayah paula.
Tak terasa setahun lamanya Claudia meninggalkan kampung halamannya, ayah dan ibunya, niat untuk melihat keadaan keluarganya ia ceriterakan sama ayah Paula. Ayah Paula bukannya menolak, bahkan ayah Paula bermaksud mengajak seluruh anggota keluarganya untuk mengunjungi ayah dan ibu Claudia.
Setiba di kampung halamannya, Claudia bingung, karena ayah dan ibunya tidak lagi tinggal di rumanya yang dulu, rumah tersebut sudah beralih tangan, di jual oleh pemberi hutang ayahnya.
Tetangga sebelah menghampiri Claudia dengan wajah sedih bercampur haru, menceriterakan penderitaan ayah dan ibinya selama ia tinggalkan, sekarang ayah dan ibunya tinggal di pondokan yang di buatkan oleh warga kampung.
Mereka semua bergegas, menemui ayah dan ibu Claudia, setelah bertemu, isak tangis bercampur haru biru tidak dapat terbendung. Melihat keadaan yang begitu memprihatinkan, ayah paula menuliskan Cek senilai hutang yang di tanggung oleh ayah Claudia, dan berjanji serta akan berusaha untuk mendapatkan rumah mereka kembali.
Nanar mata ayah Claudia, ingat akan perlakuannya terhadap anaknya, karena ulah dan ambisinya hampir saja anak semata wayang menjadi korban.
Penyesalan memang terkadang datang setelah semuanya terjadi, andaikan Claudia tidak ingat dengan Cindy saat meraih seutas tali untuk mengakhiri hidupnya, mungkin ini akan menjadi penyesalan seumur hidup bagi kedua orang tua Claudia.
Keadaan keluarga Claudia menjadi normal kembali, lima tahun kemudian Claudia meraih gelar sarjananya, jurusan ekonomi manajemen, dan di promosikan sebagai konsultan perusahaan, sambil bekerja Claudia melanjutkan strata dua, tamat dengan gelar MM, Claudia di promosikan menjadi field ofice manager, Cindy dan Paula ikut bergabung membesarkan perusahaan tersebut, mereka bertiga menamai persahabatannya “kelompok tiga malaikat”..
Hidup memang sebuah misteri, sejalan dengan waktu, terkadang kita tidak sadar bahwa masih ada kehendak yang lebih kuasa dari sekedar keinginan kita sendiri. Kadang pula kita tidak sadar, dalam keseharian hidup kita, kita selalu ingin sekali menguasai orang lain, mengatur hidup orang lain, bahkan mengorbankan hidup dan kebahagiaan orang lain. Sesungguhnya, jangankan menguasai hidup orang lain, untuk mengatur hidup orang lainpun kita tidak layak, bahkan orang tua sekalipun tidak berhak untuk mengatur hidup anaknya, yang di lakukan orang tua hanyalah memberikan bimbingan di saat anak-anaknya memerlukan bimbingan, memelihara dan membesarkannya karena anak adalah harta titipan Tuhan.

Nasihat kecil......

Jika ingin mengambil satu keputusan jangan disaat kita dalam keadaan panik, tenangkan diri terlebih dahulu, andai pikiran kita dalam keadaan buntu, carilah orang yang kita anggap paling dekat dan dapat di percaya untuk berbagi kalau perlu di mintai pendapatnya, kemudian jangan lupa berdoa serta lakukan permenungan, ikutilah kata hatimu maka di situlah jalan akan di temukan, dan yang terpenting dalam hidup adalah berusaha untuk selalu berpikiran positif, jangan terlalu cepat memvonis,segala sesuatunya haruslah di pertimbangkan dengan matang. Masalah tidak akan pernah selesai dengan cara menghindar, cara arif menyelesaikan masalah hadapi dan lakukan dengan hati panas namun kepala tetap dingin.
Tak ada masalah yang tanpa jalan keluar, semua pasti ada jalan keluarnya.

Read More..

Rabu, 30 April 2008

ADAT PAMABAKNG

Oleh. Paulus. FS

Adat pamabakng merupakan sebuah proses pembentengan diri secara pribady maupun komunitas dari hal-hal yang bersifat mengancam. Bagi orang Dayak, adat pamabakng sangat dihormati, sehingga seganas apapun pikiran, sekuat apapun niat untuk melakukan tindakan anarkhis, biasanya diurungkan apabila melihat pamabakng telah terpasang

adat pamabakng, dengan alat paraganya sebagai berikut :
- 1 buah tempayan jampa diletakkan di atas jarungkakng bambu kuning ditutup pahar dengan posisi telungkup.
- Kemudian ada palantar di taruh di atas talam lengkap dengan topokng ( tempat sirih ) dan beras beserta alat-alat palantar lainnya lengkap dengan ayam 1 ekor sedapatnya berwarna putih, tidak berwarna merah.
- 1 buah bendera berwarana putih yang dipasang di dekat tempayan jampa.
- Kemudian di dekat tempayan jampa harus ada papangokng ( penggung kecil dari kayu ) untuk meletakkan palantar.
- Disekitar pamabakng terhampar bide untuk tempat duduk dan bermusyawarah dengan bala yang akan datang.
- Tempayan jampa melambangkan tubuh korban jika terjadi pada kasus pembunuhan, dan sebagai tanda pengakuan adat bagi pelaku.
- Ayam putih dan bendera putih sebagai simbol perdamaian.
- Baras banyu sebagai simbol pengampunan sekaligus untuk menenangkan hati yang sedang dilanda emosi.
- Topokng tempat sirih dipergunakan untuk menyapa bala yang datang.
Pamabankng harus ditunggu oleh timanggong, dan jika temenggung tidak ada/berhalangan, pamabakng di tunggu oleh pasirah atau oleh tua-tua adat yang dianggap mengerti tentang adat. Selain mengerti tentang adat orang yang menunggu pemabakng haruslah orang yang bijaksana dan biasanya pula harus orang yang punya ilmu dalam mengatasi kasus seperti itu misalnya mantra dan jampi-jampi yang di sebut sangga bunuh, bungkam, kata gampang, pelembut hati seperti pangasih dan lain-lain masksudnya agar saran serta nasehat dsb, yang dapat dipakai oleh pihak bala yang sedang emosi.

Apa bila keadaan yang sangat gawat dan rawan, pamabakng dapat di pasang lebih dari satu yaitu dipersimpangan jalan masuk dan di ujung pante ( pelataran ). Maksudnya adalah apabila pamabakng yang satu tetap dilanggar, masih ada lagi pamabakng lain yang terakhir. Pamabakng yang terakhir ini merupakan pertahanan terakhir sehinga apabila pamabakng terakhir inipun di langgar maka tidak ada alternatif lain selain harus mengadakan perlawanan, dan perang kelompok ahli warispun tidak dapat terelakan. Perbuatan ini dapat menyebabkan ririkngnya adat raga nyawa, artinya adat raga nyawa tidak dibayar. Namun sepanjang sejarah perjalanan adat hal seperti ini tidak pernah terjadi. Pada saat bala tiba di tempat pamabakng, segera penunggu pamabakng menyapanya dengan topokng sekaligus di persilakan duduk. Ia mulai membentangkan arti dan makna pamabakng bahwa pihak pelaku mengaku bersalah dan bersedia menyelasaikannya secara hukum adat. Biasanya setelah mendengar penjelasan itu pihak bala melampiaskan emosinya dengan menikamkan senjatnya ketanah di sertai dengan tangisan karena hatinya kesal tidak mendapat perlawanan.
Maka yang paling penting dari adat pamabakng ini adalah :
1. Jika pamabakng tidak di pasang, dapat diartikan :
a. Bahwa pihak pelaku menentang pihak ahli waris korban untuk berkelahi atau perang antar kelompok ahli waris.
b. Pihak pelaku tidak mau sama sekali membayar adat.
c. Pengurus adat seolah-olah membiarkan dan malahan menghasut kedua belah pihak untuk saling menyerang.
2. Jika pamabakng sudah terpasang dapat di artikan :
a. Kasus tersebut sudah di tangan pengurus adat
b. Pihak pelaku sudah mengakui kesalahannya dan besedia membayar hukuman adat.
Adat pamabakng adalah adat bahoatn artinya hanya untuk dipajang bukan untuk di bayarkan. Setelah bala datang mereka harus di “bore baras banyu” dan selanjutnya dilakukan persembahan kepada Jubata. Pamabakng tetap terpasang selama adat belum diselesaikan dan paling lama selama 3 hari.


Keterangan :
 Bore baras banyu adalah : beras yang sudah di beri kunyit di oleskan di masing-masing kening orang-orang bersangkutan dan hadir saat itu.
 Palantar adalah: seluruh peraga adat (sesajen) yang di letakan di mana kita akan melakukan ritual
 Topokng adalah : sebuah tempat/wadah yang berisi rokok daun nipah dan tembakau serta ramuan untuk nyirih
 Jarungkakng adalah : kayu atau bambu yang di tancapkan di tanah dengan bentuk silang tiga
 Bahoatn artinya : mengasuh
 Ririkng sama dengan impas


Sumber : Bahaudin Kay (tokoh adat Sengah Temila, Pahauman, 2005)

Read More..

DILEMA TEAM SUKSES YANG DRAMATIS

Oleh. Paulus. FS

“Tak ada kawan sejati dan tiada musuh abadi”, slogan yang selalu digunakan oleh para politikus, tentang slogan ini mendekati suatu kebenaran atau tidak, inilah yang terjadi dan dilakukan oleh para user politik.
Ada benarnya slogan ini apabila kita berbicara pada “tataran atau ranah politik praktis” dalam kita menciftakan pemimpin-pemimpin, baik itu pemimpin pusat hingga pemimpin-pemimpin daerah, sebab dalam hal ini, pemimpin terpilih mempunyai argumentasi sendiri, yaitu mereka yang terpilih bukanlah pemimpin dari suatu golongan, kelompok tertentu, atau pemimpin bagi mereka yang meilihnya, tapi pemimpin bagi seluruh masyarakat yang berada diwilayah kepemimpinannya.
Idealisme politik yang tercermin dalam slogan “Tak ada kawan sejati dan tiada musuh abadi” sesungguhnya telah lama mati, yang masih tersisa adalah kepentingan, baik itu kepentingan, kelompok, golongan, dan kepentingan user politik itu sendiri, yang sangat erat kaitannya dengan cita-cita yang dibangunnya untuk tampil menjadi kontestan, dan cita-cita tersebutlah yang disampaikan kepada kelompok calon pendukungnya untuk dijadikan instrumen gerakan. Cita-cita yang disampaikan tersebut biasanya menjadi sewujud janji terutama dilingkungan team yang akan mensukseskan pemimpin tersebut, kemudian janji calon pemimpin menjadi segepok harapan dan menyemangati team dalam perjalanan perjuangannya hingga nyawapun kadang tidak diperhitungkan lagi.
Namun apa yang terjadi setelah jagonya terpilih menjadi pemimpin ?, dalam pidato perdana, yang mulai terungkapkan adalah “mari kita rapatkan barisan, yang sudah berlalu kita biarkan saja berlalu, kita memulai hidup yang baru untuk bersama-sama membangun negeri ini, apalah artinya saya, jika tidak didukung oleh semua pihak, saya berdiri disini bukan pemimpin kelompok atau golongan tapi pemimpin untuk semua” dengan demikian tepuk tangan meriah bahkan teriakan akan memenuhi ruangan jika pidatonya diruangan, memenuhi lapangan jika pidatonya dilapangan. Disisi satu para team dan pendukung akan merasa bangga, bahwa orang yang mereka perjuangkan bukan orang yang salah, namun disisi lain, ungkapan dalam pidato yang disampaikan tersebut jika didalamnya konsistensi untuk suasana yang baru, dan tidak untuk suasana yang telah lalu (janji dengan team) maka akan menjadi sebuah mimpi buruk terhadap segepok harapan dan cita-cita bagi team yang dirajut selama menjalani proses perjuangan.
Yang dirasakan dan paling menyakitkan bagi team, setelah perjuangan membuahkan hasil adalah, yang dekat dan mengelilingi jago yang terpilih justru mereka yang menjadi lawan, bahkan lebih dari sekedar lawan.
Jika hal semacam ini terjadi, pertanyaannya adalah, pernahkah sijago terpilih berpikir tentang perasaan team dan pendukung fanatiknya menyaksikan sandiwara kuno para politisi, yang berlagak amnesia, terhadap orang-orang yang pernah disapanya dengan ramah saat dibutuhkan, menutup mata dan rasa terhadap apa yang dilakukan oleh kelompok lawan politik terhadap dirinya dan team serta pendukungnya, kemudian mereka itu cenderung lebih menikmati ketimbang mereka yang berani menggadaikan nyawa.
Memang, memelihara lebih sulit dibandingkan dengan membangun atau menanam.
Kata memelihara, cenderung membuat banyak orang “PARANOID”, dan agar mudah terhindar dari kata memelihara, mau tak mau kiat yang paling cocok diterapkan ialah berlagak “AMNESIA”.
Penomena seperti ini seringkali terjadi, satu atau dua tahun menjadi pengagung seseorang yang didukungnya, empat dan lima bulan kemudian setelah perjuangan berhasil, justru yang terjadi kebalikannya, sehingga menciftakan bait baru, dan deretan angka-angka baru bagi yang yang terpilih dan menjadi lawan untuk mencapai keinginannya pada tahap dua nantinya.

Read More..

DILEMA HUKUM ADAT

Oleh. Paulus FS
Dewasa ini, hukum adat yang menjadi salah satu pranata sosial masyarakat adat kembali eksis, karena hukum adat, oleh sebagian besar masyarakat adat diyakini mampu memelihara tatanan kehidupan sosial masyarakat dalam komunitas masyarakat adat.

Dalam kiprahnya, hukum adat adalah sebagai lembaga dimana masyarakat adat mencari keadilan layaknya peradilan yang dimiliki oleh negara.
Negara jelas mengakui keberadaan masyarakat adat beserta pranata-pranata sosial yang berlaku pada tiap komunitas masyarakat adat, bahkan hukum negara menempatkan hukum adat sebagai mitra, dengan harapan bahwa segala bentuk pelanggaran yang mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban dilingkungan komunitas masyarakat adat dapat diselesaikan oleh, dan dengan cara-cara yang berlaku dimasyarakat adat itu sendiri.
Artinya, ruang bagi masyarakat adat dalam mengatur tatanan kehidupan kesehariannya sudah diberikan keleluasaan untuk menggunakan segala sistem demi kebaikan, keamanan, kenyamanan dalam masyarakat adat.
Namun, ada juga sebagian masyarakat merasa tidak puas apabila dihadapkan dengan hukum adat, sehingga memilih berurusan dengan hukum yang dimiliki oleh negara, ada juga proses yang dijalani terkait dengan pelanggaran-pelanggaran keamanan ketertiban dimasyarakat adat, bagai setrika dingin, dihadapkan dengan hukum adat, mintanya langsung saja ke Polisi, setelah ditangani oleh lembaga kepolisian, minta kembali diproses secara hukum adat, penomena yang seperti ini seringkali terjadi.
Ketika ditanya, kenapa harus kelembaga kepolisian, jawabannya sangat simple “tidak puas”, tidak puas dalam pengertiannya bermacam-macam, ada yang tidak puas karena keputusannya, ada yang tidak puas dengan fungsionarisnya dan lain sebagainya.
Bicara tentang hukum dan keadilan, sesungguhnya tidak diletakan pada tataran puas atau tidak puas, dianya diletakan pada tataran persesuaian timbal-balik atau hubungan sebab akibatnya.
Kemudian timbul pertanyaan pundamentalisnya ketika diletakan pada kata puas dan tidak puas, apakah pada putusan atau pada pelaksana putusan, kenapa dan ada apa ?

Dilalam hukum, baik dia hukum negara, maupun hukum adat, tentu mempunyai perangkat-perangkat hukumnya, dalam hukum negara, ada kitab undang-undangnya sebagai patokan untuk membuat keputusan sesuai dengan pelanggarannya, ada fungsionaris hukum, Hakim, Panitera, jaksa dll. Demikian pula dengan hukum adat dijaman modern seperti sekarang ini, ada buku Musdat sebagai patokannya, ada fungsionaris adat, Timanggong, Pasirah, Pangaraga bahkan ada kelembagaannya seperti Dewan Adat yang yang mirip-mirip dengan Mahkamah.
Memang yang menjadi kelemahan sekaligus keunikan hukum adat adalah, dalam penerapannya sistem peng-angka-an yang berbeda antara satu wilayah hukum dengan wilayah hukum lainnya, yang menggunakan semboyan “lain lubuk--lain ikannya, lain lalang--lain belalangnya”, hal ini kadang mengundang berbagai interpretatif dari kelompok yang “tidak tidak terbiasa”.
Dilematis memang, diberbagai diskusi, lokakarya, maupun seminar tokoh-tokoh adat (Dayak), berusaha agar peng-angka-an diseluruh wilayah hukum adat disamakan, namun selalu mentah ketika banyak orang kembali menguak sejarah dibuatnya hukum adat adat dimasing-masing wilyah hukum adat itu sendiri.
Sehingga, pemberlakuannya terbatas, hanya wilayah hukum masing-masing (Binua), ada juga memang beberapa binua menerapkan sistem peng-angka-an yang sama.
Bahayanya ketika tempat kejadian perkara adalah wilayah-wilayah yang sudah tidak lagi berpegang teguh pada hukum adat (perkotaan), bisa yang terjadi “semau gue” yang sangat dikuatirkan hukum adat tersebut kehilangan kepercayaan dan fungsi hakikinya sebagai hukum, aplagi yang melaksanakannya bukan orang yang semestinya.

FUNGSIONARIS HUKUM ADAT BISA KEHILANGAN ORIENTASI
Kelemahan yang didapati pada pengurus adat biasanya cenderung bisa menjadi lebih subjektif, hal seperti ini timbul karena dalam prosesnya seperti menerapkan “standar ganda”. Ketika menangani kasus yang dilakukan oleh warga wilayah hukum yang sama mereka bisa murni menjadi pemutus perkara, namun ketika kasus yang terjadi pada pelaku diwilayah hukum yang berbeda, ada semacam kecenderungan untuk menjadi pembela, akibatnya indevendensi fungsionaris hukum seperti dipertanyakan.
Penyebab timbulnya kelemahan-kelemahan ini antara lain :
• Tidak adanya tempat khusus persidangan, sehingga para fungsionaris hukum adat dijadikan seperti bola pingpong (bolak-balik ketempat pelaku dan korban)
• Fungsionaris hukum adat yang tidak berani tegas, yang ngatur justru entah pihak pelaku atau pihak korban, tergantung siapa yang keras
• Peng-angka-an yang tidak seragam
Kelemahan ketiga poin inilah yang selalu mempengaruhi keputusan, sehingga memunculkan kata “tidak puas” yang membuat banyak orang lebih memilih untuk diselesaikan perkaranya melalui proses diluar hukum adat.

Read More..