Rabu, 30 April 2008

DILEMA HUKUM ADAT

Oleh. Paulus FS
Dewasa ini, hukum adat yang menjadi salah satu pranata sosial masyarakat adat kembali eksis, karena hukum adat, oleh sebagian besar masyarakat adat diyakini mampu memelihara tatanan kehidupan sosial masyarakat dalam komunitas masyarakat adat.

Dalam kiprahnya, hukum adat adalah sebagai lembaga dimana masyarakat adat mencari keadilan layaknya peradilan yang dimiliki oleh negara.
Negara jelas mengakui keberadaan masyarakat adat beserta pranata-pranata sosial yang berlaku pada tiap komunitas masyarakat adat, bahkan hukum negara menempatkan hukum adat sebagai mitra, dengan harapan bahwa segala bentuk pelanggaran yang mengganggu stabilitas keamanan dan ketertiban dilingkungan komunitas masyarakat adat dapat diselesaikan oleh, dan dengan cara-cara yang berlaku dimasyarakat adat itu sendiri.
Artinya, ruang bagi masyarakat adat dalam mengatur tatanan kehidupan kesehariannya sudah diberikan keleluasaan untuk menggunakan segala sistem demi kebaikan, keamanan, kenyamanan dalam masyarakat adat.
Namun, ada juga sebagian masyarakat merasa tidak puas apabila dihadapkan dengan hukum adat, sehingga memilih berurusan dengan hukum yang dimiliki oleh negara, ada juga proses yang dijalani terkait dengan pelanggaran-pelanggaran keamanan ketertiban dimasyarakat adat, bagai setrika dingin, dihadapkan dengan hukum adat, mintanya langsung saja ke Polisi, setelah ditangani oleh lembaga kepolisian, minta kembali diproses secara hukum adat, penomena yang seperti ini seringkali terjadi.
Ketika ditanya, kenapa harus kelembaga kepolisian, jawabannya sangat simple “tidak puas”, tidak puas dalam pengertiannya bermacam-macam, ada yang tidak puas karena keputusannya, ada yang tidak puas dengan fungsionarisnya dan lain sebagainya.
Bicara tentang hukum dan keadilan, sesungguhnya tidak diletakan pada tataran puas atau tidak puas, dianya diletakan pada tataran persesuaian timbal-balik atau hubungan sebab akibatnya.
Kemudian timbul pertanyaan pundamentalisnya ketika diletakan pada kata puas dan tidak puas, apakah pada putusan atau pada pelaksana putusan, kenapa dan ada apa ?

Dilalam hukum, baik dia hukum negara, maupun hukum adat, tentu mempunyai perangkat-perangkat hukumnya, dalam hukum negara, ada kitab undang-undangnya sebagai patokan untuk membuat keputusan sesuai dengan pelanggarannya, ada fungsionaris hukum, Hakim, Panitera, jaksa dll. Demikian pula dengan hukum adat dijaman modern seperti sekarang ini, ada buku Musdat sebagai patokannya, ada fungsionaris adat, Timanggong, Pasirah, Pangaraga bahkan ada kelembagaannya seperti Dewan Adat yang yang mirip-mirip dengan Mahkamah.
Memang yang menjadi kelemahan sekaligus keunikan hukum adat adalah, dalam penerapannya sistem peng-angka-an yang berbeda antara satu wilayah hukum dengan wilayah hukum lainnya, yang menggunakan semboyan “lain lubuk--lain ikannya, lain lalang--lain belalangnya”, hal ini kadang mengundang berbagai interpretatif dari kelompok yang “tidak tidak terbiasa”.
Dilematis memang, diberbagai diskusi, lokakarya, maupun seminar tokoh-tokoh adat (Dayak), berusaha agar peng-angka-an diseluruh wilayah hukum adat disamakan, namun selalu mentah ketika banyak orang kembali menguak sejarah dibuatnya hukum adat adat dimasing-masing wilyah hukum adat itu sendiri.
Sehingga, pemberlakuannya terbatas, hanya wilayah hukum masing-masing (Binua), ada juga memang beberapa binua menerapkan sistem peng-angka-an yang sama.
Bahayanya ketika tempat kejadian perkara adalah wilayah-wilayah yang sudah tidak lagi berpegang teguh pada hukum adat (perkotaan), bisa yang terjadi “semau gue” yang sangat dikuatirkan hukum adat tersebut kehilangan kepercayaan dan fungsi hakikinya sebagai hukum, aplagi yang melaksanakannya bukan orang yang semestinya.

FUNGSIONARIS HUKUM ADAT BISA KEHILANGAN ORIENTASI
Kelemahan yang didapati pada pengurus adat biasanya cenderung bisa menjadi lebih subjektif, hal seperti ini timbul karena dalam prosesnya seperti menerapkan “standar ganda”. Ketika menangani kasus yang dilakukan oleh warga wilayah hukum yang sama mereka bisa murni menjadi pemutus perkara, namun ketika kasus yang terjadi pada pelaku diwilayah hukum yang berbeda, ada semacam kecenderungan untuk menjadi pembela, akibatnya indevendensi fungsionaris hukum seperti dipertanyakan.
Penyebab timbulnya kelemahan-kelemahan ini antara lain :
• Tidak adanya tempat khusus persidangan, sehingga para fungsionaris hukum adat dijadikan seperti bola pingpong (bolak-balik ketempat pelaku dan korban)
• Fungsionaris hukum adat yang tidak berani tegas, yang ngatur justru entah pihak pelaku atau pihak korban, tergantung siapa yang keras
• Peng-angka-an yang tidak seragam
Kelemahan ketiga poin inilah yang selalu mempengaruhi keputusan, sehingga memunculkan kata “tidak puas” yang membuat banyak orang lebih memilih untuk diselesaikan perkaranya melalui proses diluar hukum adat.

Tidak ada komentar: