Rabu, 30 April 2008

DILEMA TEAM SUKSES YANG DRAMATIS

Oleh. Paulus. FS

“Tak ada kawan sejati dan tiada musuh abadi”, slogan yang selalu digunakan oleh para politikus, tentang slogan ini mendekati suatu kebenaran atau tidak, inilah yang terjadi dan dilakukan oleh para user politik.
Ada benarnya slogan ini apabila kita berbicara pada “tataran atau ranah politik praktis” dalam kita menciftakan pemimpin-pemimpin, baik itu pemimpin pusat hingga pemimpin-pemimpin daerah, sebab dalam hal ini, pemimpin terpilih mempunyai argumentasi sendiri, yaitu mereka yang terpilih bukanlah pemimpin dari suatu golongan, kelompok tertentu, atau pemimpin bagi mereka yang meilihnya, tapi pemimpin bagi seluruh masyarakat yang berada diwilayah kepemimpinannya.
Idealisme politik yang tercermin dalam slogan “Tak ada kawan sejati dan tiada musuh abadi” sesungguhnya telah lama mati, yang masih tersisa adalah kepentingan, baik itu kepentingan, kelompok, golongan, dan kepentingan user politik itu sendiri, yang sangat erat kaitannya dengan cita-cita yang dibangunnya untuk tampil menjadi kontestan, dan cita-cita tersebutlah yang disampaikan kepada kelompok calon pendukungnya untuk dijadikan instrumen gerakan. Cita-cita yang disampaikan tersebut biasanya menjadi sewujud janji terutama dilingkungan team yang akan mensukseskan pemimpin tersebut, kemudian janji calon pemimpin menjadi segepok harapan dan menyemangati team dalam perjalanan perjuangannya hingga nyawapun kadang tidak diperhitungkan lagi.
Namun apa yang terjadi setelah jagonya terpilih menjadi pemimpin ?, dalam pidato perdana, yang mulai terungkapkan adalah “mari kita rapatkan barisan, yang sudah berlalu kita biarkan saja berlalu, kita memulai hidup yang baru untuk bersama-sama membangun negeri ini, apalah artinya saya, jika tidak didukung oleh semua pihak, saya berdiri disini bukan pemimpin kelompok atau golongan tapi pemimpin untuk semua” dengan demikian tepuk tangan meriah bahkan teriakan akan memenuhi ruangan jika pidatonya diruangan, memenuhi lapangan jika pidatonya dilapangan. Disisi satu para team dan pendukung akan merasa bangga, bahwa orang yang mereka perjuangkan bukan orang yang salah, namun disisi lain, ungkapan dalam pidato yang disampaikan tersebut jika didalamnya konsistensi untuk suasana yang baru, dan tidak untuk suasana yang telah lalu (janji dengan team) maka akan menjadi sebuah mimpi buruk terhadap segepok harapan dan cita-cita bagi team yang dirajut selama menjalani proses perjuangan.
Yang dirasakan dan paling menyakitkan bagi team, setelah perjuangan membuahkan hasil adalah, yang dekat dan mengelilingi jago yang terpilih justru mereka yang menjadi lawan, bahkan lebih dari sekedar lawan.
Jika hal semacam ini terjadi, pertanyaannya adalah, pernahkah sijago terpilih berpikir tentang perasaan team dan pendukung fanatiknya menyaksikan sandiwara kuno para politisi, yang berlagak amnesia, terhadap orang-orang yang pernah disapanya dengan ramah saat dibutuhkan, menutup mata dan rasa terhadap apa yang dilakukan oleh kelompok lawan politik terhadap dirinya dan team serta pendukungnya, kemudian mereka itu cenderung lebih menikmati ketimbang mereka yang berani menggadaikan nyawa.
Memang, memelihara lebih sulit dibandingkan dengan membangun atau menanam.
Kata memelihara, cenderung membuat banyak orang “PARANOID”, dan agar mudah terhindar dari kata memelihara, mau tak mau kiat yang paling cocok diterapkan ialah berlagak “AMNESIA”.
Penomena seperti ini seringkali terjadi, satu atau dua tahun menjadi pengagung seseorang yang didukungnya, empat dan lima bulan kemudian setelah perjuangan berhasil, justru yang terjadi kebalikannya, sehingga menciftakan bait baru, dan deretan angka-angka baru bagi yang yang terpilih dan menjadi lawan untuk mencapai keinginannya pada tahap dua nantinya.

Tidak ada komentar: